JAKARTA, Indonesia — Indonesia mengatakan pada hari Rabu bahwa pihaknya mencabut larangannya terhadap pesawat Boeing 737 Max, tiga tahun setelah satu jatuh ke Laut Jawa tak lama setelah lepas landas yang menewaskan semua 189 orang di dalamnya.
Kementerian Perhubungan mengatakan dalam sebuah pernyataan pada hari Rabu bahwa pesawat akan diizinkan untuk terbang di Indonesia, tetapi hanya setelah maskapai melakukan arahan kelaikan udara.
Kementerian juga akan melakukan inspeksi sebelum pesawat diizinkan beroperasi di dalam negeri, kata Novie Riyanto, Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan.
“Beberapa operator penerbangan telah menyatakan telah melakukan perintah kelaikan udara untuk pesawat 737 MAX, sesuai dengan ketentuan FAA dan akan mempersiapkan pelatihan dan simulator di fasilitas terdekat, di Singapura,” Riyanto said.
Pemerintah mengandangkan Boeing 737 Max setelah total 346 orang tewas dalam kecelakaan penerbangan Lion Air di Indonesia pada 29 Oktober 2018, dan penerbangan Ethiopian Airlines pada 10 Maret 2019.
Penyelidik menyalahkan sistem komputer yang mendorong hidung pesawat ke bawah dalam penerbangan dan tidak dapat dikesampingkan oleh pilot. Boeing telah melakukan peningkatan teknis untuk memperbaiki masalah tersebut.
Awal bulan ini, China menjadi pasar utama terakhir yang menyetujui Boeing 737 Max setelah Amerika Serikat mengizinkan penerbangan dilanjutkan pada Desember 2020. Regulator Uni Eropa memberikan izin pada Januari. Brazil dan Kanada juga telah memberikan persetujuan.
Anton Sahadi, yang sepupunya yang berusia 24 tahun, Muhammad Rafi Ardian dan Rian Ariandi, meninggal dalam kecelakaan tahun 2018, mengatakan bahwa dia menyesali keputusan pemerintah untuk membiarkan 737 Max terbang lagi.
“Pemerintah harus memastikan pesawat memenuhi standar keselamatan agar kejadian serupa tidak terulang kembali,” kata Sahadi.
“Saya belum melihat urgensi pesawat Boeing 737 Max untuk terbang kembali di Indonesia. Keluarga korban masih belum menyelesaikan proses penyelesaian masalah dengan Boeing,” dia berkata.
Sahadi mengacu pada keluhan oleh beberapa keluarga korban kecelakaan bahwa penyelesaian $2,5 miliar antara Boeing dan Departemen Kehakiman AS mengecualikan mereka dari keterlibatan dalam negosiasi kompensasi mereka.
Berita terkini hari ini dan lainnya di kotak masuk Anda